Menyoal Istilah “Pembina Politik” di Kecamatan dan Desa Saat Pilkada 2020

Admin Humas
28 September 2020 709 x Berita

Oleh : irpan Supu

Tolitoli, Bawaslu Kabupaten Tolitoli – Saat acara sosialisasi Netralitas pemerintah Desa yang difasilitasi oleh Bawaslu Kabupaten Tolitoli beberapa waktu yang lalu, seorang Kepala Desa bertanya : “bagaimana bisa kami dilarang menghadiri kampanye Calon Bupati di Desa kami, sementara kami ini merupakan pembina Politik didesa”. Dilain waktu seorang sahabat ASN yang juga menjabat Camat berujar ke saya “ pak, bagi saya siapapun calon yang mengundang saya untuk hadir kampanye diwilayah saya, saya akan hadir karena posisi saya sebagai pembina Politik di Kecamatan” demikian ujarnya diplomatis.

Pernyataan dari Kepala Desa dan Camat diatas menarik bagi saya untuk menelusuri dasar hukum dari argumentasi tersebut, dalam arti benarkah ada kewajiban Camat dan Kepala Desa sebagai pembina politik di wilayahnya masing-masing yang merupakan perintah dari peraturan perundang-undangan.

Pada zaman Orde Baru mekanisme Pemerintahan Daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah. Salah satu inti materi Undang-undang ini adalah wilayah administratif yang terdiri dari provinsi, kabupaten, kota madya dan kecamatan. Sementara kepala wilayah administratif adalah Gubernur, Bupati, Walikota dan Camat (pasal 77).  Dalam pasal 81 Undang undang tersebut dinyatakan salah satu wewenang dan kewajiban Kepala Wilayah adalah melaksanakan segala usaha dan kegiatan dibidang pembinaan ideologi negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sementara itu dalam undang undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dinyatakan bahwa Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan Desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.

Secara normatif tak ada pasal spesifik dari kedua undang-undang tersebut  yang menyatakan bahwa camat dan Kepala Desa sebagai pembina politik namun dalam prakteknya pada zaman orde baru Camat dan Kepala Desa berperan sebagai “Pembina Politik” yang bertugas untuk membina kehidupan politik di Kecamatan dan Desa. Pembinaan politik pada zaman orba lazimnya dimaknai sebagai tanggung jawab dan upaya untuk memenangkan Golongan karya pada saat pemilihan umum di wilayah masing-masing, dan hal ini terbukti efektif sejak pemilu 1971 sampai dengan pemilu 1997.

Setelah rezim orde baru berakhir terbitlah undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, lalu diganti dengan Undang Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berbeda dengan zaman orde baru hal mana Pemerintahan Daerah (termasuk wilayah kecamatan didalamnya) dan pemerintahan desa memiliki undang-undang tersendiri, Dalam dua undang undang tersebut ( UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004)  materi Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa digabung dalam satu Undang-Undang.

Lalu pada tahun 2014 rezim hukum Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa dipisah kembali, untuk (pemerintahan) desa diterbitkan undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Lalu kemudian  diterbitkan undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur juga kecamatan didalamnya.

Jika kita menelaah tugas camat (pasal 225 UU no 23 tahun 2014)  serta tugas Kepala Desa (pasal 26 UU nomor 6 tahun 2014) maka pada prinsipnya tugas Camat dan Kepala Desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan (umum) melaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan diwilayahnya masing-masing serta (untuk camat) ditambahkan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi koordinasi baik terait dengan pelaksanaan Peraturan Daerah maupun sarana dan prasarana pelayanan umum (fasilitas publik).

Terlihat jelas dalam undang undang tersebut diatas bahwa tak ada satupun tugas dan kewenangan camat sebagai Pembina Politik di Kecamatan, sehingga kehadiran camat yang merupakan ASN dalam sosialisasi ataupun kampanye para calon kepala daerah tidak dapat dimaknai sebagai bagian dari pembinaan politik (karena memang tugas itu tidak ada)  namun sebagai pelanggaran azas netralitas ASN sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dan pelanggaran atas  pasal 4 angka 15 Peraturan Pemerintah  Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Begitu pula dengan kepala desa, kehadirannya dalam kegiatan kampanye calon kepala daerah didesanya bukanlah bagian dari pelaksanaan tugas pembinaan politik (karena memang tugas itu tak ada) tetapi merupakan pelanggaran atas pasal 29 huruf j Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan kepala desa dilarang ikut serta dan /atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan Kepala Daerah.

Bahwa  pemaknaan pembinaan pemerintahan secara umum sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah juga dimaknai sebagai pembinaan politik tidaklah keliru sepanjang operasionalisasinya diimplementasikan dalam kegiatan koordinasi dengan instansi terkait khususnya penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan lainnya demi suksesnya seluruh tahapan Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah diwilayah tersebut, namun suatu kesalahan fatal dan kegagalan berpikir jika pelaksanaan pembinaan politik itu dimaknai dengan menghadiri atau ikut serta dalam kegiatan kampanye pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Akhirnya tak ada satupun dasar hukum terhadap terminologi “Pembina politik” yang acapkali disuarakan para Camat dan Kepala Desa  sebagai legitimasi kehadirannya dalam kampanye pemilihan Kepala Daerah. Oleh karena urusan penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah telah atur oleh undang-undang tersendiri, dan diselenggarakan oleh suatu lembaga yang bersifat nasional tetap dan mandiri (KPU,Bawaslu, dan DKPP)

Penulis adalah Koordinator sekretariat Bawaslu Tolitoli

 (artikel ini adalah pendapat pribadi)

Bawaslu

Berita Terpopuler